Wamena, kpksigap.com – Dulu di tahun 1980an dan jauh sebelumnya, konflik perang suku (tribal war) merupakan suatu konflik antar aliansi masyarakat karena ada keterkaitan dengan filosofi hidup. Perang menjadi suatu ‘kewajiban rutinan’ sebagai akibat siklus kehidupan yang tidak menentu. Mencari dan mengambil roh pihak lawan, mengalahkan kekuatan musuh dll adalah bagian integral dari praktik religi tradisional di Baliem. Perang suku dijadikan sbg ajang membuka dan mendamaikan kemalangan hidup tiap suku di Lembah Baliem, Waena, 22 Juni 2024
Sifat perang antar aliansi tepatnya-pada zaman itu terjadi secara serentak, kadang, terencana melibatkan semua anggota klen yg terlibat dengan siap menerima seluruh dampak atau akibatnya. Bisa dikatakan sbg perang holistik antar dua atau lebih aliansi yang terlibat. Perang mati hidup tiap aliansi karena tiap aliansi yang kalah akan mengungsi atau ditaklukan. Harta benda diambil, rumah dijarah dan dibakar, para wanita diambil bersama anak-anak ikut atau kadang turut jadi korban.
Jadi dalam berbagai studi literatur yang membahas ttg perang suku di Baliem terjadi tidak hanya bermuatan politik semata. Ada dimensi religi tradisional yang turut ikut berperan memicu tjdnya konflik tsb. Terutama soal kehidupan kolektif masyarakat suatu aliansi yang mana mengalami musibah terus menerus dan hidup dalam derita dan kemalangan.
Namun motif konflik perang antar aliansi yang
yg demikian sepenuhnya berakhir pasca masuknya pihak misionaris dan pemerintahan Belanda hingga Indonesia. Tradisi perang suku akhirnya dilarang dizaman Belanda melalui program Pasifikasi. Keberhasilan pemerintah Belanda menghentikan konflik antar suku dan memulai hidup dalam ajaran inji Yesus Kristus secara perlahan berhasil menarik hati hampir semua aliansi di Lembah Baliem Wamena.
Masyarakat pribumi Baliem yang memeluk agama Kristen, Islam, Katolik dll akhirnya tidak berperang lagi melainkan hidup dalam persekutuan antar umat yang rukun dan damai meski acapkali meletus konflik kecil yang dipicu hal² kriminal murni. Sebagaimana kita lihat saat ini, konflik perang suku hari ini telah bergeser dari motif utama seperti dulu. Ada perubahan signifikan dr motif perang suku hari ini. Intrik politik dan ekonomi hampir selalu mendasari tjd konflik pasca hadirnya pemerintah dan pihak Misi.
Di era Belanda bila tjd konflik antar suku lagi, maka dua suku yang saling terlibat diberikan hukuman tegas. Bahkan bila mengorbankan staf pemerintah atau misionaris aliansi yang duluan lakukan penyerangan dihukum dengan penyitaan babi, ditangkap bahkan ikut diberikan ganjaran agar ada efek jera. Setelah itu anggota aliansi tsb diajak bertobat ke jalan Tuhan dengan mengajak persuasif para kepala suku dan seluruh anggota klan konfederasinya (ap kaintek/big man).
Di hari ini motif konflik perang suku telah berubah jauh dari filosofi para tetua dahulu. Hari ini perang suku banyak tjd karena kasus kriminalitas murni atau kepentingan politik elit atau by desain pihak eksternal. Misalnya penganiayaan, lakalantas, pencurian, pemalakan, yang semuanya bila diamati murni kasus kriminal yang harusnya dapat ditangani langsung dengan penindakan hukum positif. Insiden kecil2 yang dilatari minuman keras menjadi trigger jdnya konflik yg melibatkan aliansi. Mengorbankan banyak hal. Padahal murni kasus kriminal yang mana sesuai hukum yang berlaku harusnya oknum/ individu yang ditindak.
Kondisi rendahnya supremasi hukum atas individu di Baliem yang menjadi terduga pelaku maupun korban mengesankan kehadiran negara dan perangkat hukumnya abai/ gagal terlaksana secara maksimal. Sebagai negara hukum (reschtaat) semua elemen masyarakat Indonesia mestinya tak kebal hukum. Berlaku tanpa pandang bulu dan tanpa melibatkan berbagai unsur SARA dalam penegakannya. Apa yang tjd di Wamena kecuali memang disengaja di biarkan tanpa intervensi hukum positif.
Kembali kepada topik. Bahwa kondisi rendahnya penegakan hukum dalam kasus2 kriminal menyebabkan tradisi perang suku mulai diplintir menjadi konflik antar warga demi menggolkan kepentingan oknum elit tertentu. Bukan lagi kepentingan kolektif hidup masyarakat satu aliansi seperti dahulu. Misalnya konflik perang suku akibat gagal nyaleg, nyabup, nyagub dan kepentingan politik praktis lainnya.
Semua itu menandaskan bahwa kohesi sosial masyarakat Lembah Baliem di dalam solidaritas kehidupan berbangsa dan bernegara belum terlalu baik. Meski disisi lain ada kesan pembiaran oleh institusi keamanan negara, disisi lain menyebabkan negara terkesan gagal hadir di tengah masyarakat memberikan keamanan dan kenyamanan hidup. Negara juga terlihat tidak berdaya menghadapi kekuatan suku atau aliansi yg di Wamena. Ya, meskipun negara patut diduga turut menjalankan misi khusus tertentu pada masyarakat Lembah Baliem dan sekitarnya dengan membiarkan lestarinya habitus konflik antar aliansi tsb.
Dengan demikian, sudah saatnya negara mengambil langkah dan posisi tegas dalam menghadapi berbagai konflik antar aliansi atau masyarakat di Wamena. Negara harus melihat tiap elemen masyarakat Wamena sebagaimana masyarakat Jawa dan Nusantara yang multietnis untuk dilindungi dan dijamin hak² konstitusional keamanan pribadinya.
Kultur politisasi Perang suku yang mulai dilakukan pasca masuknya pemerintahan Indonesia untuk menggolkan kepentingan elit politik, kepentingan agenda kenegaraan, hingga akibat kasus2 kriminal harusnya dicegah dan hindari. Mulai dari pengetatan dan pelarangan membawa alat tajam di tiap kab se Provinsi Papua Pegunungan dan juga pelaksanaan sweeping rutinan’ demi menciptakan kota2 yang DANI: Damai, Aman, Nyaman dan Indah di Papua Pegunungan.
Adalah naif bila negara sebesar republik ini gagal menegakkan hukum nasionalnya kepada oknum2 elit lokal yang kerap melumuri tangan dan dahi mereka dengan menjadikan perang suku sebagai tameng atau ajang unjuk jago dan keberadaannya melalui meterai darah rakyat kecil polos tak berkepentingan. Sudah saatnya elit2 tiap klen, aliansi, dan suku di Papua menghentikan mengobjekkan masyarakat untuk mempertahankan status Kuo, kekuasaan dan popularitas pribadi dan golongan. Sebab orang Papua secara kuantitas semakin hari sudah semakin sedikit dan minoritas.
Penulis Benyamin Lagowan