Maumere,.SIKKA. kpksigap.com. Nita, 5 September 2024, di sela sela wawancara LEPO LORUN, Nita, terpampang beberapa Motif dan ragam hias pada tenunan ikat ibu ibu penenun, wartawan mencuri pandang pada dua jenis sarung, dan segera bertemu langsung ibu Yustina Densiana, salah seorang pengrajin pada kelompok LEPO LORUN, Nita.
Kepadanya ditanyakan langsung tentang harga dari beberapa motif yang terpampang. Dan katanya, bahwa harga perlembar sarung tersebut sekitar Rp.1.500.000,.
Dijelaskannya bahwa, kemahalan ini disebabkan karena proses pengerjaannya lama dan motif tersebut mengandung makna nilai religius. Sehingga harganya cukup mahal.
Ketiga jenis motif tersebut adalah ” Utang kelang ata biang ” yaitu jenis sarung ikat dengan seling seling motif manusia laki laki dan perempuan sebagai lambang kesuburan. Motif ini menampilkan seorang laki laki langsing sebagai lambang seorang suami, dan seorang perempuan kelihatan gendut melambangkan wanita hamil. Dari motif tersebut mengandung arti lambang kesuburan dan umur panjang, menurut kepercayaan masyarakat setempat.
Lebih lanjut, ibu Densi, demikian sapaan kesehariannya menuturkan.Bahwa selain jenis ini, adapun jenis berikutnya adalah ” Utang Korasang Manuwulu “, jenis ini menggambarkan jantung atau hati dan 8 ekor ayam. Ditampilkan dua pasang ekor ayam bertatap muka, bertemu kaki, dimana tiap pasangan seekor anak ayam. Tiap anak ayam dewasa mencotok sesuatu untuk memberi kepada anak ayam. Disamping itu.dua ekor anak ayam remaja berdiri membelakangi ayam dewasa ( induk ), sebagai tanda untuk memasuki alam kedewasaan yang bebas dan bertanggung jawab.
Dijelaskan pula bahwa lukisan ini mempunyai nilai pedagogis, dimana ditampilkan dedikasi yang besar dari orang tua bagi anak anaknya. Jadi anak yang masih dibawah umur butuh pengawasan yang istimewa seolah olah dikepak/ dilindungi. Tetapi terhadap anak remaja( anak ayam remaja ) perlu sikap lunak yang menghargai karena mereka akan segera memasuki alam dewasa, terbatas dari perawatan dan tanggung jawab orang tua, yang bebas dan bertanggung jawab sendiri terhadap masa depannya.” Demikian, tutur ibu Densi.
Pada bagian lain tutur Ibu Densi, untuk sarung jenis pakaian laki-laki dengan sungkitan benang sulam pada benam lungsin dewasa ini semakin ditinggalkan oleh para pengrajin Krowe Sikka.
Sebagai gantinya maka ditempuh teknik yang lebih mantap dan bermutu yaitu oleh masyarakat setempat dikenal dengan Lia Peringgi. Teknik ini menjamin kehalusan bagian luar dan dalam untuk tenunan tersebut.
“Tenunan Lipa Prenggi menggunakan banyak haweng kecil yaitu benang angkat yang membentuk motif dan ragam hias geometris yang dipasang melintangi benang lungsin dengan sistem pilin. Sehingga harga dari sarung tersebut sedikit mahal dan prosesnya lama dan mengandung nilai religius,” tutupnya.
KPK SIGAP Sikka- Frans Bata