Dinkes Matim Dalam Sorotan Korupsi Alkes, Doni Parera Bongkar Modus Operandinya

 

Manggarai Timur_ Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Manggarai Timur (Matim) kini berada dalam dugaan skandal korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) dan sarana prasarana Rumah Sakit Pratama Watu Nggong.

Dugaan ini mencuat setelah adanya penyimpangan data laporan dengan bukti fisik yang ditelusuri Tim Investigasi.

Selain itu, adanya mark-up harga barang hingga 50% bahkan laporan fiktif yang mana jumlah barang dalam data laporan tidak sesuai dengan bukti fisik di lapangan.

Diketahui, pengadaan barang alkes dan Faskes di Rumah Sakit Pratama Watu Nggong ini terjadi sejak tahun 2021 hingga 2023.

Wartawan mendata beberapa Fasilitas Kesehatan yang pengadaannya terjadi pada Tahun 2023 seperti Gorden Anti Darah Ruangan bersalin 1 dengan harga Rp7.008.481,00 dan Ruangan bersalin 2 dengan harga Rp25.952.101,00.

Selain itu, Gorden Anti Darah di Ruang IGD yang pengadaannya terjadi pada tahun 2023 seharga Rp18.098.281,00.

Fakta di lapangan menunjukkan barang dibelanjakan tersebut nihil.

Direktur Utama Rumah Sakit Pratama Watu Nggong Dr. Maria Figliana saat dikonfirmasi Kamis (12/9/2024) mengatakan bahwa pihaknya baru melakukan pengadaan gorden pada Tahun 2024 bukan 2023.

Ia juga menjelaskan bahwa jumlah ruangan bersalin yang ada di Rumah Sakit Pratama Watu Nggong cuma satu yang saat ini kondisi kain gordennya belum dipasang.

“Hanya 1 Ruangan bersalin. Pengadaan gorden anti darah baru 2024,”kata Nensi.

Dari penjelasan Dr. Maria dapat disimpulkan bahwa terdapat perbelanjaan fiktif pada Tahun 2023 karena Rumah sakit Pratama watu Nggong baru melakukan pengadaan pada Tahun 2024.

Wartawan juga mendapatkan data fiktif belanja Alkes pada tahun 2021 yakni tempat tidur dewasa sebanyak 35 unit seharga Rp24.888.000,00/unit dan tempat tidur anak seharga Rp24.523.000,00 sebanyak 15 bermerek robust.

Dalam pengakuan Maria, total keseluruhan jumlah tempat tidur anak dan dewasa berjumlah 30 unit, dengan rincian 8 tempat tidur anak dan 22 unit tempat tidur dewasa.

Penjelasan Maria merujuk pada fakta bahwa terdapat 20 unit belanja fiktif tempat tidur dewasa dan anak-anak yang harganya mencapai puluhan juta rupiah.

Dari data tersebut, total belanja aset untuk Rumah Sakit Pratama Watu Nggong sejak 2021 hingga 2023 senilai Rp16.125.605.615,00.

Praktik yang merugikan anggaran negara dan menghambat akses masyarakat terhadap layanan kesehatan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak termasuk Aktivis Sosial, Doni Parera.

Doni menilai, modus-modus korupsi ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga mengancam keselamatan pasien.

Menurutnya, aroma korupsi yang begitu menyeruak, mestinya lekas mengundang aparat penegak hukum agar sigap mengendus dan memeriksa yang terlibat.

Doni menjelaskan, beberapa modus korupsi yang umum terjadi dalam proses belanja alkes dan faskes di rumah sakit antara lain

1. Mark Up Harga

Mark up harga merupakan salah satu modus korupsi yang paling sering terjadi. Dalam praktik ini, harga alkes atau faskes yang dibeli melebihi harga pasar yang sebenarnya.

Pejabat pengadaan atau pihak terkait bekerja sama dengan penyedia barang untuk menetapkan harga yang jauh lebih tinggi dari harga sebenarnya. Selisih harga ini seringkali dibagi-bagikan sebagai komisi atau suap.

“Contoh nyata dari mark up harga adalah pengadaan alat medis yang seharusnya dibeli dengan harga Rp100 juta, namun karena praktik korupsi, harganya dibayar Rp150 juta. Selisih Rp50 juta tersebut bisa mengalir ke kantong oknum yang terlibat.”

2. Pengadaan Fiktif

Modus pengadaan fiktif terjadi ketika barang atau jasa yang tercantum dalam laporan belanja tidak benar-benar ada. Misalnya, rumah sakit mencantumkan pembelian sejumlah alat medis yang sebenarnya tidak pernah diterima.

Dana untuk pembelian tersebut dikorupsi oleh pihak yang berwenang, sedangkan dokumen-dokumen pengadaan dibuat untuk menutupi jejak kecurangan ini.

Dalam beberapa kasus, pengadaan fiktif bisa melibatkan pembuatan faktur palsu dan kontrak yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini sering kali dilakukan dengan melibatkan perusahaan fiktif atau perusahaan yang tidak beroperasi dengan baik.

3. Koleksi Kickback

Kickback adalah bentuk suap di mana penyedia barang atau jasa memberikan komisi ilegal kepada pejabat pengadaan sebagai imbalan untuk memperoleh kontrak atau penunjukan.

Komisi ini biasanya merupakan persentase dari nilai kontrak atau pembelian, dan sering kali disamarkan dalam bentuk bonus atau insentif lain.

Misalnya, seorang pejabat rumah sakit mungkin menerima 10% dari nilai kontrak pengadaan alat medis sebagai kickback, sementara nilai kontrak tersebut sudah ditingkatkan agar menyertakan tambahan margin untuk kickback tersebut.

4. Manipulasi Spesifikasi

Dalam beberapa kasus, spesifikasi teknis untuk alat kesehatan atau fasilitas kesehatan dapat dimanipulasi agar sesuai dengan produk dari penyedia tertentu.

Manipulasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa hanya penyedia tertentu yang dapat memenuhi spesifikasi tersebut, seringkali karena ada kesepakatan korup antara penyedia dan pejabat pengadaan.

“Sebagai contoh, spesifikasi alat medis yang seharusnya memiliki standar internasional mungkin dimodifikasi agar hanya produk dari penyedia tertentu yang dapat memenuhinya. Akibatnya, produk dengan harga lebih tinggi atau kualitas lebih rendah dapat dimasukkan ke dalam daftar pengadaan.”

5. Pembayaran Palsu atau Berlebihan

Modus korupsi lain yang sering terjadi adalah pembayaran palsu atau berlebihan untuk barang dan jasa yang tidak pernah diterima. Dalam kasus ini, dana yang disetujui untuk pembayaran digunakan secara tidak sah oleh pihak-pihak tertentu.

Misalnya, setelah proses pengadaan selesai, pembayaran dilakukan untuk barang yang tidak pernah dikirim atau layanan yang tidak pernah diberikan.

“Dana yang “hilang” dalam proses ini biasanya disalurkan ke rekening pribadi atau digunakan untuk kepentingan pribadi oknum,” pungkasnya.

(Kpk-Sigap : Eventus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *