(Ambin Demokrasi Oleh Noorhalis majid)
Kalau kita resapi makna dari “pemilihan” dan kata kerjanya disebut dengan “memilih”, maka sebetulnya calon tunggal itu tidak bisa dikatakan Pemilu. Karena tidak ada yang dipilih pada calon tunggal.
Tidak ada pembanding, sebagai pertimbangan memilih di antara yang tersedia.
Kalau yang tersedia jumlahnya lebih dari satu, misalnya tersaji dua, tiga atau empat, maka barulah kita dapat memilih.
Apa daya nasi sudah menjadi bubur, dan sistemnya dengan latah membolehkan calon tunggal.
Sistem itu sendiri memaksa logika menerima dan tetap memilih calon tunggal. Bahkan, calon tunggal itu dipaksa berdebat dengan angin yang tentu tidak ada lawan debatnya, dan penonton khusuk menyaksikan debat yang tanpa lawan tersebut.
Lantas, calon tunggal itu layaknya disebut apa kalau bukan Pemilu? Mungkin cukup setingkat jajak pendapat saja, sekedar menguji pendapat publik apakah setuju atau tidak.
Hasilnya tidak harus 50% + 1 suara. Cukup 20% atau 30% saja yang tidak setuju, maka calon tunggal ditolak untuk ditetapkan.
Dengan demikian, tidak ada ruang bagi calon tunggal memaksa semua orang memilih dirinya, agar Pemilu tidak menyalahi logika pemilihan.
Banyaknya calon tunggal dalam Pilkada, harus menjadi bahan koreksi untuk memperbaiki sistem Pemilu itu sendiri.
Dimulai dari syarat pencalonan yang harus dibatasi, tidak boleh ada ruang keserakahan dan arogansi untuk memborong semua dukungan, sehingga tidak memberi tempat serta peluang bagi calon lainnya.
Pun bagi partai politik, harus terdepan memperbaiki sistem yang buruk dan arogan ini.
Bersamaan itu berusaha memberi banyak alternatif kepada warga pemilih tentang calon pemimpin berkualitas.
Memberi tempat dan kesempatan seluasnya bagi semua yang mampu menjadi pemimpin, agar semua warga dapat memilih, sebab yang tersaji tidak tunggal, namun banyak dan beragam.
Sumber Informasi: Noorhalis Majid
Editor: Mega