Jakarta,KpkSigap.com
Lahirnya Permendikbud Ristek No. 53 Tahun 2023 beserta seluruh turunannya, terutama terkait dengan Peraturan BAN-PT yang mengatur 15 Parameter Otomasi Akreditasi Program Studi (Prodi) dan Akreditasi Perguruan Tinggi (APT), memicu kritik dari berbagai pihak. Dalam Rapat Koordinasi Pengurus 3 Wilayah Aptisi Gorontalo, Aptisi Sulut, dan Aptisi Sulteng bersama pimpinan PTS wilayah Goslutteng yang diadakan secara daring pada Rabu, 21 Agustus 2024, sejumlah perwakilan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menyoroti dampak aturan ini terhadap PTS yang memiliki keterbatasan sumber daya, terutama jika dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Pernyataan ini terungkap dalam diskusi mengenai kondisi yang dihadapi PTS, yang kerap terbebani oleh keterbatasan keuangan dan otonomi yang jauh lebih rendah dibandingkan PTN. PTS seakan dilepas “ekornya” tetapi tetap dirantai “kepala dan badannya,” dengan contoh nyata pada rasio dosen yang jauh lebih ketat diberlakukan pada PTS dibandingkan dengan PTN seperti Universitas Terbuka (UT). Hal ini berdampak langsung pada akreditasi PTS yang bisa bermasalah jika tidak memenuhi persyaratan.
Rapat tersebut juga menyoroti kesulitan dosen PTS dalam mengakses beasiswa S3 (Doktoral) seperti LPDP atau BPI, yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan dosen-dosen PTN. Kondisi ini mencerminkan diskriminasi yang semakin dirasakan oleh PTS di berbagai daerah.
Dengan perubahan pemerintahan dan DPR RI yang baru, PTS melihat ini sebagai momen penting untuk menyuarakan aspirasi dan mencari keadilan dalam kebijakan pendidikan tinggi. Kesempatan ini diharapkan dapat membuka ruang dialog yang lebih konstruktif dengan pemerintah baru, guna memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif dan adil bagi PTS di seluruh Indonesia.
(KPK SIGAP – WL).