(Ambin Demokrasi)
Ini bukan tentang Aditya yang menolak melawan diskualifikasi. Soal itu terlalu sederhana, karena kalau dia mau melawan, pasti banyak argumen yang dapat diajukan. Ini lebih dari itu.
Juga bukan tetang sikapnya yang diam membisu, membiarkan fotonya tetap digunakan menjadi surat suara, padahal tentu saja dapat mengajukan keberatan atau protes, sebab menjadi hak baginya menolak foto dirinya ada pada surat suara pasca diskualifikasi.
Ini tentang mewujudkan Pilkada yang jujur dan adil, yang dikenang sepanjang masa dan menjadi catatan sejarah perhelatan demokrasi di kota yang IPM-nya tertinggi se Kalimantan Selatan, bahkan rata-rata masyarakat berpendidikannya terbanyak dan merata.
Bagaimana mungkin bisa menjelaskan kepada anak cucu, bahwa pernah suatu waktu di Kalimantan Selatan, diselenggarakan Pilkada dengan calon tunggal dan tidak ada alternatif termasuk alternatif kotak kosong bagi semua warganya. Yang ada hanya memilih calon tunggal tersebut atau dianggap tidak sah.
Bukan karena ketiadaan aturan. Bahkan aturannya sudah sangat jelas, memerintahkan dengan tegas agar mencetak surat suara ulang dengan mengakomodir kotak kosong.
Alasannya sederhana, tidak mau mencetaknya dengan dalih sempitnya waktu. Padahal, dizaman yang teknologinya supercanggih seperti ini, hanya perlu waktu satu malam mencetak surat surat yang dibutuhkan.
Kalau Pilkada tetap terselenggara dengan ketiadaan alternatif tentang hak warga untuk tidak memilih calon tunggal, maka inilah Pilkada paling aneh bin ajaib di dunia.
Karena sudah begitu arogan bahkan kasar, menghapus hak semua warga dalam menentukan pilihannya.
Bagaimana menjelaskan secara logis atas dasar aturan hukum yang jujur, adil dan demokratis, bila tidak ada sedikit pun alternatif kecuali memilih calon tunggal atau suara dianggap tidak sah?
Sekali lagi, ini bukan tentang Aditya, tapi tentang sejarah memalukan, yang akan diceritakan sepanjang zaman. (nm)
Editor: Mega