MK Tolak Gugatan Masa Jabatan Sejak Pelantikan, Ini Kata Ahli Hukum Tata Negara Unila

KALIANDA, KPK-Sigap.com — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan dalam perkara uji materi pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang menghitung masa jabatan sejak pelantikan. Dimana soal klausal aturan pencalonan kepala daerah tersebut diatur didalam Pasal 19 e PKPU Nomor 8 Tahun 2024.

 

“Menolak permohonan provisi para Pemohon. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata ketua hakim konstitusi, Suhartoyo, Kamis 14 November 2024 kemarin.

 

Sebelumnya, paslon Gubernur Bengkulu Helmi Hasan-Mian dan Paslon Bupati Bengkulu Selatan Elva-Makrizal melalui tim kuasa hukumnya mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi (MK) usai tuntutan mereka untuk pembatalan paslon incumben yang tak dipenuhi KPU Bengkulu.

 

Dalam gugatan perkara ke MK tersebut, kedua paslon itu menuntut penghapusan pasal 19 e PKPU Nomor 8 Tahun 2024. Sebab, norma pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU No 10/2016 sudah dicabut oleh MK melalui 3 putusannya yaitu Putusan No: 22/PUU-VII/2009, No: 67/PUU-XVIII/2020, dan No: 2/PUU- XXI/2023.

 

Namun, 9 hakim MK yang terdiri dari Suhartoyo selaku ketua merangkap anggota, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Ridwan Mansyur, Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Tusmic P Foekh, M Guntur Hamzah dan Asrul Sani, menolak uji materi yang diajukan oleh pemohon melalui putusan nomor 129/PUU/-XXII/2024 tanggal 14 November.

 

Dalam uraian putusannya, MK menyatakan bahwa berkaitan dengan persoalan inkonstitusionalitas yang didalilkan para pemohon, MK tidak menemukan relevansi untuk memaknai Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 khusunya mengenai perhitungan ‘2 kali masa jabatan’ dengan menggunakan cara perhitungan yang diatur dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016.

 

“Mahkamah telah pernah melakukan pengujian konstitusional atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dan mengeluarkan Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno tanggal 14 Desember 2020 dan Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 yang diucapkan pada tanggal 28 Februari 2023,” kata Hakim MK.

 

Menurut MK, seharusnya pertimbangan hukum Putusan MK itu dijadikan acuan untuk ditindak-lanjuti oleh lembaga berwenang untuk mengatur mengenai cara penghitungan atau menentukan mulai menjabat, khususnya bagi pejabat gubernur, bupati, dan walikota yang telah melaksanakan tugas dan wewenang dalam jabatan tersebut.

 

Selain itu, MK dalam pertimbangan hukumnya yang dibacakan oleh hakim MK Enny Nurbaningsih menyebutkan, bahwa norma Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada yang secara substansi memuat frasa “Memegang jabatan selama 5 (lima) tahun” menunjukkan ketentuan masa jabatan yang merujuk pada masa jabatan yang menjadi hak kepala daerah pemenang pemilihan kepala daerah. Begitu pula dengan frasa “Terhitung sejak tanggal pelantikan” menjadi cara penghitungan masa jabatan lima tahun dan bukan cara penghitungan masa jabatan bagi pejabat sementara atau pelaksana tugas yang menggantikan kepala daerah hasil pemilihan.

 

“Sesungguhnya norma tersebut bukanlah mengatur tata cara penghitungan masa jabatan bagi pejabat yang menggantikan posisi kepala daerah hasil pemilihan, apalagi jika dikaitkan dengan tata cara penghitungan masa jabatan sebagai syarat bagi pasangan calon kepala daerah yang baru akan
mengikuti pemilihan kepala daerah. Sebab norma Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada mengatur periodisasi masa jabatan kepala daerah dalam kondisi normal,” jelas Enny dalam Sidang Pengucapan
Putusan MK yang disiarkan melalui kanal YouTube MK.

Sementara, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Lampung (Unila), Dr Budiyono SH MH menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut tidak otomatis membatalkan PKPU nomor 08 tahun 2024 tentang Pencalonan Kepala Daerah. Karena menurut dia, kewenangan MK hanya sebatas pembatalan UU yang bertentangan dengan UUD 45.

 

“Kewenangan pembatalan PKPU itu ranahnya ada di Mahkamah Agung (MA), bukan oleh MK ya. Untuk itu, penetapan paslon kepala daerah untuk Pilkada serentak 2024 ini masih sah dan tetap berhak untuk terus mengikuti seluruh tahapan pelaksanaan Pilkada,” ujar Budiyono kepada wartawan, Jumat 15 November 2024.

 

Namun demikian, terus Budiyono, jika nantinya oleh Mahkamah Agung PKPU 08 tersebut dicabut karena bertentangan dengan UU ataupun putusan MK, maka tidak akan menjadi soal bagi paslon yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai peserta pilkada 2024. Karena kata Budiono, putusan MA mencabut PKPU itu tidak berlaku surut.

 

“Artinya, keputusan MA itu berlaku kedepan. Maksudnya sesuai dengan azas Non-retroaktif, undang-undang hanya berlaku untuk peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut dinyatakan berlaku. Ini berarti bahwa undang-undang tidak dapat diterapkan secara mundur untuk peristiwa yang terjadi sebelum undang-undang tersebut berlaku,” jelasnya.

 

Budiyono pun mengamini pertimbangan hakim MK, bahwa pasal 162 ayat (1) UU Pilkada merupakan bagian pengaturan yang berlaku bagi pasangan calon pemenang pemilihan yang menjadi kepala daerah yang definitif. Hal ini terlihat dari sistematika penyusunan normanya yang secara berurutan, mulai dari Pasal 160 mengatur pengesahan dan pengangkatan kepala daerah, Pasal 161 mengatur pelantikan dan sumpah/janji, Pasal 162 mengatur masa jabatan kepala daerah, Pasal 163 sampai dengan Pasal 164 mengatur mengenai pelantikan kepala daerah, waktu, dan tempatnya serta Pasal 165 mengatur pendelegasian pengaturan jadwal dan tata cara pelantikan kepala daerah ke dalam Peraturan Presiden.

 

“Apabila pasal tersebut mengatur mengenai penjabat sementara atau pejabat pengganti, maka pembentuk undang-undang tidak merumuskan angka yang bersifat definitif. Dengan arti kata, penjabat sementara yang menggantikan kepala daerah definitif
di tengah masa jabatan, hanya memiliki kemungkinan kecil dapat mencapai masa jabatan lima tahun secara penuh, kecuali memenuhi kondisi tertentu yang terjadi pada calon kepala daerah terpilih,” pungkasnya. (Tedi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *