DEMOKRASI YANG “KAPAP” Oleh: Noorhalis Majid

(Ambin Demokrasi)

Demokrasi kita “kapap”, kata seorang tokoh di Forum Ambin Demokrasi, yang gelisah melihat situasi demokrasi yang tidak semestinya.

Rasanya, semua teori tentang demokrasi yang dia pelajari di berbagai negara yang menganutnya, luluh lantak karena praktiknya bukan hanya dimanipulasi, namun juga dioperasi secara kasar, hingga wajahnya tidak dikenali sama sekali.

Apa itu kapap? Satu ungkapan Banjar tentang bunyi, seperti bunyi babun yang talinya longgar, sehingga terdengar tidak nyaman, lembek, sumbang, tidak melenting sebagaimana suara babun semestinya, kata tokoh lain menjelaskan makna kapap.

Betul, demokrasi memang harus melahirkan bunyi yang harmoni. Bagaimana pun bentuk bunyinya, harus mendapat peluang yang sama untuk diperdengarkan.

Suara partai, suara independent, suara masyarakat sipil, kelompok adat, agamawan, pengusaha, dan lain sebagainya, harus harmoni saling melengkapi.

Tidak boleh ada yang sumbang, apalagi dibungkam. Bila ada suara yang diredam, maka “kapap” lah demokrasi itu.

Bagaimana mungkin bisa mengelola tata kehidupan negara dan pemerintahan demokrasi yang aman, damai, mengutamakan kejujuran, keadilan, keterbukaan, kesetaraan, peka terhadap suara lirih kelompok tertindas, bila fungsinya sebagai wadah yang memberi tempat bagi semua tidak berjalan?

Kotak kosong dalam Pilkada, adalah wujud nyata demokrasi yang “kapap”. Bunyinya tunggal, mustahil bisa harmoni, karena suara alternatif dibungkam oleh kuasa modal yang angkuh membeli segalanya, termasuk membeli dan meredam partai politik yang mestinya mengusung serta mempromosikan demokrasi yang harmoni tersebut.

Dan yang lebih brutal dan kasar, bila kotak kosong itu sendiri digorok dengan ditiadakan.

Dipaksa menjadi “silang”, disamakan dengan suara tidak sah, maka pertanyaan paling mendasar, perlukah lagi Pilkada? Untuk apa disebut demokrasi kalau tidak ada suara lain dari apapun?

Tentu sangat boleh bernafsu berkuasa, tapi jangan paksa demokrasi menjadi “kapap”.

Sumber Informasi: Noorhalis Majid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *