Ini bukan tentang mengajukan pertanyaan atau menjawab pertanyaan dengan cara membaca teks yang disiapkan, yang kemudian menimbulkan kecurigaan bahwa soal atau minimal kisi-kisi debat sudah dibocorkan.
Tapi yang lebih substansi dari itu, persoalan apa paling krusial yang harus menjadi perdebatan?
Juga bukan “mahual” siapa panelisnya? Apa kompetensinya? Bagaimana integritasnya? Siapa yang memberi mandat mewakili warga banua mengajukan pertanyaan untuk calon pemimpin bagi seluruh warga banua? Bukan tentang itu, tapi ini soal menolak serimonial yang sekedar menggugurkan kewajiban.
Debat bukan dagelan, lucu-lucuan, atau menjaga kalau ada yang salah ngomong dan asyik mendengar logatnya yang unik sehingga menjadi candaan.
Atau soal atraksi penguasaan materi karena bekerja pada bidang itu sekian lama.
Debat itu tentang menawarkan gagasan, pokok pikiran, terobosan paling mutakhir dalam rangka mewujudkan kesejahtraan bersama.
Tawaran gagasan tentang kesejahtraan bersama itulah yang sesungguhnya paling substansi.
Terutama tentang pengelolaan sumber daya alam yang adil, khususnya ekploitasi batubara yang sudah memberi dampak besar pada perubahan bentang alam, ancaman bencana dan perubahan sosiokultural masyarakat, namun tidak berdampak signifikan bagi perwujudan kesejahtraan bersama.
Tidak ada sedikitpun gagasan apalagi terobosan pemikiran yang cemerlang dari para kandidat, terkait ratusan trilyun hasil batubara tiap tahun yang dirampok secala legal maupun ilegal dari banua, dan yang menetes untuk warga cuman recehan.
Apakah membicarakan itu tabu? Atau jangan-jangan panelis sendiri takut mengajukan pertanyaan itu? Atau takut para kandidat tidak punya kompetensi menjawabnya, dengan alasan itu kewenangan pusat, izinnya PKP2B, kita hanya kebagian debu, masalah dan bencananya.
Nanti kalau ada bencana, pasti bantuan dana CSR akan turun sebagai pelipur lara.
Debat yang keren itu bila substansi persoalan mampu dan berani dibicarakan secara gamblang terbuka.
By : Noorhalis Majid
Editor: Mega